Perpisahan SNELIK 2008

Week end go to Talaga Remis

Week end go to Curug Muarajaya Majalengka

ANTROPOLOGI

Antropologi

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.

Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Pengertian

Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.

Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/ perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitan pada pendudukyang merupakan masyarakat tunggal.

Sejarah Teori Antropologi yang Berpihak

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal.

Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu antara lain adalah Honigmann (1976),

Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan ?pentingnya bersikap netral? dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan.

Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ?Sejarah Teori Antropologi? sebagaimana

kita temukan dalam buku-buku lain.

Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam

konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [?Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu.

Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain.

Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)?, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personae berbeda dalam melihat gejala sosial.

Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung?sekurangkurangnya secara implisit?ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat.

Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx.

Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting. Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya?bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan.

Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada pemikiranpemikiran evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran

pemikiran tersebut

Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa

pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, emik dan etik dalam kajian antropologi.

Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan

sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial.

Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi

Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme.

Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada.

Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari

konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji antropologi.

Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:

William A. Haviland

Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

David Hunter

Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

Koentjaraningrat

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Sejarah

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)

Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

Antropologi Keyakinan.

Kegagalan melembagakan demokrasi, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun pelembagaan itu, membawa kecemasan politik bagi mereka yang berkehendak mewujudkan suatu masyarakat terbuka.

Ruang politik yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja "politik identitas", yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita politik absolut, terutama karena mendasarkan perjuangan politik pada doktrin keagamaan.

Lebih karena keyakinan final tentang "moralitas politik" agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari perdebatan tentang dasar negara pada awal pendirian RI, politik identitas itu memperoleh reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia internasional.

Globalisasi tidak dipandang oleh politik identitas sebagai sarana percaturan ide-ide global, tetapi dimusuhi sebagai penghalang pelaksanaan keyakinan politik agamais. Fundamentalisme pasar berhadapan dengan fundamentalisme nilai, tidak di dalam upaya sintetik untuk mencapai stabilitas relatif sistem dunia modern, tetapi berhadap-hadapan dalam pertarungan kategoris tentang kebenaran absolut. Globalisasi secara kategoris dirumuskan sebagai sumber penghancuran peradaban, sementara agama, dalam versi konservatifnya, diajukan sebagai solusi satu-satunya peradaban baru.

Kendati kontrapolasi itu mengandung banyak kepalsuan, mengingat begitu seringnya kohesifitas keagamaan terbelah karena persaingan politik dalam kelompok itu sendiri, namun nada umum politik global memperdengarkan disharmoni politik antara pendukung etika kosmopolitan dan pembela logika politik akhirat.

Dalam jargon clash of civilization, tersimpan psikologi absolut dari persaingan politik global. Nilai-nilai absolut telah melampaui parameter-parameter konvensional politik dunia. Gejala ini cukup kasatmata: akumulasi kapital dan teknologi bukan lagi nilai utama yang dikejar, tetapi sekadar alat untuk mewujudkan suatu impian ideologi yang absolut. Dalam praktik terorisme mutakhir, prinsip ini bekerja amat sempurna.

Konstruksi historis global inilah yang kemudian menjadi latar perkembangan politik identitas di Indonesia sekarang ini.

Namun, sumber-sumber politik identitas itu juga memiliki akar-akar lokal. Memang kondisi otoritarianisme Orde Baru telah menghambat artikulasi kultural dari politik identitas itu, melalui teknik-teknik politik korporatisme, kooptasi, dan represi. Ekonomi Orde Baru telah berfungsi memoderatkan penyebaran sosial dari politik identitas, melalui monetisasi kehidupan umum, dan berbagai insentif kesejahteraan umat. Namun, antropologi bangsa ini rupanya memang kuat bertumpu pada antropologi keyakinan, yaitu kecenderungan untuk memandang kehidupan secara ideologis, secara absolut. Akibatnya, penampilan ulang politik identitas justru menjadi-jadi ketika politik mengalami keterbukaan maksimal dan ekonomi mengalami penurunan total.

Kontrak sosial demokrasi

Kita tentu tidak ingin kembali pada suasana otoritarian karena jaminan terhadap demokrasi tidak di dalam rangka tukar tambah politik dengan larangan terhadap politik identitas. Yang ingin kita upayakan adalah suatu kerangka kerja demokrasi yang mampu menghargai kondisi antropologis bangsa ini, sekaligus mampu mengembangkan kultur kritisisme individu dalam kebudayaan politik, yaitu kultur yang secara sosial dapat mencegah perwujudan-perwujudan absolut dari tuntutan- tuntutan politik identitas itu. Kultur semacam itu pertama-tama dimaksudkan untuk mendorong pertukaran kepentingan di antara warga negara, berdasarkan prinsip bahwa politik adalah gejala temporer yang harus lepas dari obsesi-obsesi permanen.

Kita telah memilih demokrasi. Memilih menjalankan politik majemuk. Memilih melaksanakan hak asasi manusia. Karena itu, kita harus menerima konsekuensi tertinggi, yaitu kemajemukan harus menghasilkan kesementaraan tujuan. Tidak ada finalitas dalam kemajemukan. Demokrasi tidak mungkin mensponsori suatu pandangan politik tunggal.

Demokrasi adalah jaminan rasional terhadap keragaman tujuan hidup individual. Dengan cara itu, hak asasi manusia dapat diselenggarakan secara maksimal. Karena itu, hal maksimal yang dapat disediakan demokrasi adalah fasilitas konstitusi untuk konsensus sekuler di antara berbagai kepentingan temporer. Inilah kontrak sosial sesungguhnya dalam kehidupan publik, yaitu bahwa jarak politik antara warga negara hanya boleh diukur berdasarkan ayat-ayat konstitusi, dan bukan dengan ayat-ayat suci.

Menerima pluralisme berarti menerima etika politiknya, yaitu bahwa semua obsesi politik yang absolut, yang mengejar finalitas, hanya boleh dipraktikkan di wilayah privat. Ini bukan diskriminasi dalam demokrasi, tetapi konsekuensinya.

Artinya, sejauh "politik identitas" hanya bermaksud artikulatif, maka sistem demokrasi harus menampung dan memperlakukannya sebagai politics of difference, yaitu suara marjinal yang harus dilindungi. Namun, begitu ia mulai bermaksud akumulatif, yaitu berupaya menghomogenkan ruang publik dengan mengintrodusir prinsip-prinsip politik absolut, demokrasi harus segera menolaknya karena ia mengancam prinsip dasar demokrasi itu sendiri: ruang publik tidak boleh dirumuskan secara final. Ia harus bebas dari obsesi-obsesi absolut.

Ruang politik adalah ruang relatif, ruang falibilis, ruang profan. Itulah sebabnya kita mendaur ulang politik setiap lima tahun. Namun, kita tidak membuat pilkada untuk Tuhan

Antropologi Budaya Korupsi di Indonesia

Dari tanggal 22 - 26 Juli 2008 Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin dan Universitas Indonesia (UI) Jakarta akan menggelar hajatan besar : The Fifth International Symposium of Journal Antropologi Indonesia atau Simposium Internasional Kelima Jurnal Antropologi Indonesia yang dilaksanakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Acara yang bertajuk The Future of Indonesia : Sustaninable Development and Local Initiatives in the Post-Capitalist Era yang artinya kira-kira Masa Depan Indonesia : Pembangunan Berkelanjutan dan Upaya-upaya Daerah di Pasca Era Kapitalis ini dihadiri oleh para antropolog (pakar antropologi) Indonesia dan juga mancanegara seperti dari Jepang, Selandia Baru dan Australia juga terbuka untuk umum. Selain menghadiri simposium para peserta juga akan disuguhi gelar acara budaya dan wisata daerah Kalimantan Selatan, seperti kesenian daerah, pameran hasil alam setempat dan juga wisata keliling kota melalui sungai.

Budaya Korupsi

Diakui atau tidak korupsi sudah membudaya - atau dengan kata lain menjadi budaya - di tengah kehidupan bangsa Indonesia atau secara spesifik di dunia politik dan birokrasi di Indonesia dan yang berkaitan dengannya. Apabila ada sebagian pengamat, pakar, ilmuwan atau anggota masyarakat yang menyangkal hal tersebut, barangkali hanya berusaha berprasangka baik terhadap bangsanya sendiri, selebihnya - barangkali - menutup mata dan telinga terhadap kenyataan yang ada.

Korupsi sebagai faktor penghambat pembangunan dan kemajuan bangsa sudah saatnya dibedah dan diteliti dengan seksama, baik asal muasalnya atau pun penyebarannya. Bisa jadi sifat korupsi sudah membentuk gen tersendiri sehingga diperlukan juga pakar biologi molekuler untuk turut mengungkap dan mengetahui sifat korup dari akarnya (sifat bawaan). Bukankah sudah disinyalir dalam Islam bahwa makanan haram - baik zatnya maupun cara memperolehnya - yang diberikan kepada seseorang dikhawatirkan akan menjadikan anak keturunannya juga akan berperilaku buruk dan jahat ? Hal ini hanya bisa dijelaskan oleh ilmu biologi molekuler yaitu adanya perubahan genetik yang diturunkan pada generasi berikutnya yang berisi kode-kode genetik sifat jahat (korup) tersebut. Atau dengan kata lain seorang koruptor akan sangat memungkinkan untuk menurunkan keturunan yang juga menjadi koruptor nantinya. Seperti kalau ditinjau dari ilmu genekeologi mungkin bisa dipelajari sejarah keturunan seorang koruptor, apakah mungkin ada di antara nenek moyangnya yang terlibat atau menjadi seorang koruptor juga.

Selain itu perlu juga dipelajari sistem dan jaring penyebaran budaya korupsi. Bagaimana suatu kebiasaan yang pada awalnya berasal dari ruang lingkup kecil - perorangan - bisa menjadi suatu kebiasaan dan budaya yang melibatkan orang banyak. Dari hanya seorang koruptor kemudian bisa menularkan sifat buruknya sampai ke tingkat bagian, biro, departemen, sampai institusi negara. Dalam hal ini bisa dilibatkan pakar komunikasi dan pakar IT (Teknologi Informatika) untuk mempelajari kemungkinan adanya pengaruh perkembangan teknologi informasi seperti memasyarakatnya penggunaan telepon genggam terhadap berkembangnya korupsi di Indonesia.

Nah, para antropolog, kami masyarakat menanti apa hasil pertemuan Anda. Jangan hanya jalan-jalan dan senang-senang membawa oleh-oleh kembali ke kampung halaman. Anda semua ilmuwan bertanggung jawab akan ilmu dan keilmuan Anda, dan penerapan serta manfaatnya bagi masyarakat banyak.

Bapak Antropologi Indonesia

Prof Dr Koentjaraningrat (1923-1999)

Pak Koen, panggilan akrabnya, seorang ilmuwan yang berjasa meletakkan dasar-dasar perkembangan ilmu antropologi di Indonesia. Sehingga ia diberi kehormatan sebagai Bapak Antropologi Indonesia. Hampir sepanjang hidupnya disumbangkan untuk pengembangan ilmu antropologi, pendidikan antropologi, dan apsek-aspek kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia.

Prof Dr Koentjaraningrat tertarik bidang ilmu antropologi sejak menjadi asisten Prof GJ Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih gelar MA Antropologi dari Yale University, AS, 1956 dan Doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.

Pak Koen merintis berdirinya sebelas jurusan antropologi di berbagai universitas di Indonesia. Ilmuwan yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris ini juga tekun menulis. Beberapa karya tulisnya telah menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa di Indonesia. Ia banyak menulis mengenai perkembangan antropologi Indonesia. Sejak tahun 1957 hingga 1999, ia telah menghasilkan puluhan buku serta ratusan artikel.

Melalui tulisannya, ia mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Buah-buah pikirannya yang terangkum dalam buku kerap dijadikan acuan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan masyarakat Indonesia, baik oleh para ilmuwan Indonesia maupun asing.

Salah satu bukunya yang menjadi pusat pembelajaran para mahasiswanya adalah Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1963. Dalam buku itu, diceritakan kegiatan Prof Dr Koentjaraningrat dalam menimba ilmu. Juga di dalamnya, dia menjadi tokoh pusat dalam perkembangan antropologi.

Selain itu, bukunya Pengantar Antropologi yang diterbitkan pada tahun 1996 telah menjadi buku pegangan para mahasiswa di berbagai universitas dan berbagai jurusan yang ada di Indonesia.

Buku lainnya yang pernah diterbitkannya adalah hasil penelitian lapangan ke berbagai wilayah di Indonesia seperti Minangkabau, daerah Batak hingga pelosok Irian Jaya. Buku itu berjudul Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta (1973), Masyarakat Desa di Indoensia (1984), Kebudayaan Jawa (1984), Masyarakat Terasing di Indonesia (1993), dan sebagainya.

Selain itu, ia juga pernah mengadakan penelitian di negara lain seperti Belanda dan Belgia.

Kepribadiannya yang khas, meninggalkan kesan tersendiri dalam ingatan para mahasiswanya. Kesan dan pandangan para mahasiswa, kerabat, sahabat dan koleganya, sepertinya dapat mengungkapkan jati diri seorang tokoh dalam berbagai aspek kehidupannya di kelas, di rumah, dan di dalam kehidupan sehari-hari.

Pada mulanya ia pernah ditugaskan untuk mengembangkan pendidikan dan penelitian dalam antropologi. Dia menyiapkan dan menyediakan bahan untuk pengajaran. Dalam rangka pemenuhan tugas-tugas itu, ia tidak hanya produktif menulis buku-buku acuan pendidikan antropologi, melainkan dia juga menulis buku-buku dan artikel ilmiah lainnya berkenaan dengan kebudayaan, suku bangsa, dan pembangunan nasional di Indonesia.

Profesor bernama lengkap Koentjoroningrat ini dilahirkan di Yogyakarta, 15 Juni 1923, sebagai anak tunggal. Ayahnya, RM Emawan Brotokoesoemo, adalah seorang pamong praja di lingkungan Pakualaman. Sementara ibunya, RA Pratisi Tirtotenojo, sering diundang sebagai penerjemah bahasa Belanda oleh keluarga Sri Paku Alam. Walaupun anak tunggal, didikan ala Belanda yang diterapkan ibunya membuatnya menjadi pribadi yang disiplin dan mandiri sejak kecil.

Pada usia delapan tahun, ia mulai bersekolah di Europeesche School. Pada masa-masa itu, ia sering menghabiskan waktu bermain di lingkungan keraton. Kedekatannya dengan lingkup keraton yang kental dengan seni dan kebudayaan Jawa, sedikit banyak memengaruhi pembentukan kepribadiannya sebagai antropologi di kemudian hari.

Selepas dari Europeesche School, remaja yang juga punya bakat melukis ini meneruskan sekolah ke AMS dan mulai mempelajari seni tari di Tejakesuman. Bersama dua sahabatnya, yaitu Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh pers), Koentjaraningrat rajin menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca, di antaranya disertasi tentang antropologi milik para pakar kenamaan.

Kemudian, ia pun meraih gelar sarjana sastra bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia, pada 1952. Selanjutnya, pada tahun 1956, ia mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University, AS. Kemudian meraih gelar doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.

Karier yang pernah dijabatnya yakni menjadi Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia. Kemudian menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Begawan antropologi Indonesia ini juga pernah diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht, Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di Paris dan Center for South East dan Asian Studies di Kyoto.

Berbagai penghargaan telah dianugerahkan padanya atas pengabdiannya dalam pengembangan ilmu antropologi. Di antaranya, penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Pak Koen juga mendapat penghargaan Satyalencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI (1968 dan 1981).

Tutup Usia

Antropolog pertama Indonesia ini meninggal dunia dalam usia 75 tahun, Selasa 23 Maret 1999 sekitar pukul 16.25, di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Dia telah terkena stroke sejak 1989. Dimakamkan di TPU Karet Bivak, Rabu 24 Maret 1999 sekitar pukul 13.00.

Sebelumnya disemayamkan di rumah duka di Jl Daksinapati Timur IV/C2, Kompleks IKIP Rawamangun. Hadir melayat antara lain ahli filsafat dan budayawan Prof Dr Toeti Herati Nuradi, mantan Mendikbud Prof Dr Fuad Hassan, Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional Dr Anhar Gonggong, dan sosiolog Prof Dr Sardjono Jatiman.

Menurut keterangan putri ketiganya, Ny Rina "Maya" Tamara, perintis berdirinya Jurusan Antropologi UI dan sejumlah universitas negeri lainnya ini, memang sudah sejak lama menderita stroke dan terkena serangan mendadak beberapa kali. Serangan stroke pertama kali terjadi selang setahun setelah ia resmi mengakhiri masa dinasnya sebagai pegawai negeri, 15 Juni 1988. Menurut Maya, mendiang ayahnya Senin malam 22 Maret 1999 sekitar pukul 22.10 secara mendadak tak sadarkan diri setelah sebelumnya sempat muntah-muntah, dan segera dilarikan ke RS Kramat 128.

1. antropologi

Antropologi sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Akan tetapi, jelas bahwa ilmu ini bukan satu-satunya yang berurusan dengan manusia: ada berbagai spesialis tentang Beethoven, Oedipus Complex, dan sebagainya. Antropologi juga tidak melulu berurusan dengan manusia, karena ada juga yang mengkaji primata berbulu di hutan-hutan.

Pada sekitar lima puluh tahun yang lalu, antropologi mempelajari khususnya masyarakat yang terasing, eksotik, primitif, di luar eropa. Sementara itu dalam perkembangannya, mereka juga mengkaji para petani di dusun termasuk yang bermukim di Eropa, mengkaji kota-kota baik di dunia ketiga maupun di Eropa, mengkaji berbagai perusahaan multi nasional, juga mengkaji sistem kekerabatan di berbagai suku.

Dewasa ini pengertian antropologi telah mengalami perluasan ranah sebagaimana diungkapkan oleh Cris Shore, dalam ”Anthropology’s Crisis Identity” yang dimuat dalam Anthropology Today, 1996 yang menyatakan bahwa antropologi adalah pemahaman atas suatu budaya dan sistem nilai; kesadaran kritis atas pentingnya konteks sosial dalam membentuk pemikiran dan perilaku; pengenalan dan penghargaan atas budaya suatu suku atau kelompok masyarakat, serta pemahaman atas bagaimana suatu masyarakat terbentuk dan terorganisir. Singkatnya adalah pemahaman atas pemaknaan menjadi seorang manusia, yang berbudaya dan hidup pada masyarakat yang mempunyai budaya dan sistem nilai yang berbeda-beda.

Ilmu ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu antropologi biologi dan antropologi budaya. Salah satu bagian dari antropologi budaya adalah etnologi. Ilmu ini memcoba mencapai pengertian mengenai asas-asas manusia dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari sebanyak mungkin suku bangsa yang hidup tersebar di seluruh permukaan bumi.

2. arsitektur

Kata ”arsitektur” berasal dari bahasa Yunani arche dan tektoon , arche berarti yang asli, yang utama, yang awal, sedang tektoon berarti sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, stabil. Architectoon secara bahasa berarti pembangun utama, ahli bangunan yang utama.

Pada perkembangannya, pengertian arsitektur sangat beragam, diantaranya pendapat para tokoh arsitektur, antara lain: Arsitektur adalah: the frozen music (Von Schelling), permainan massa bersamaan dengan tata cahaya yang benar dan baik (Le Corbusier), kehendak zaman yang ditranslasikan ke dalam ruang (Mies Van der Rohe), paduan antara komoditas, kekuatan, dan kesenangan (Sir Henry Wotton).

Dahulu banyak orang berpendapat bahwa arsitektur adalah ”Great Building”, ”Monumen”, misalnya istana, gereja, kathedral, dan seterusnya. Semuanya adalah kategori untuk bangunan-bangunan yang penting, megah, dan sebagainya. Hal ini dipicu oleh, di abad-abad yang lalu, sejarah dan perkembangan arsitektur banyak ditulis oleh para ”arsitek”(biasanya didominasi oleh seniman, pematung, dsb; pada waktu itu pendidikan akademik arsitektur belum ada), penguasa, bangsawan, da seterusnya. Hal tersebut ditujukan untuk lebih menegaskan adanya perbedaan atas bangunan-bangunan megah yang mereka bangun, dibandingkan dengan vernacular arsitektur yang besifat massal dan merakyat.

Nicholaus Pevsner, sejarawan arsitektur adalah seorang yang pertama-tama menyatakan bahwa baik bangunan megah maupun bangunan rakyat biasa adalah sama-sama bernama arsitektur, melalui analoginya tentang Lincoln Cathedral VS bicycle shed (gudang sepeda), Lincoln Cathedral hanyalah sebagian kecil dari arsitektur, sedangkan gudang sepeda adalah juga suatu bangunan. Sekarang ini pendapat mengenai produk arsitektur telah mengalami banyak perubahan sehingga muncul definisi baru arsitektur, yaitu keseluruhan lingkungan yang dibuat oleh manusia, termasuk di dalamnya bangunan (building), ruang-ruang kota (urban spaces), serta lansekap (landscape).

3. antropologi arsitektur

Sementara ini antara antropologi dan arsitektur seakan-akan berdiri sendiri, padahal arsitektur sebagai cerminan budaya sangat lekat kaitannya dengan kehidupan manusia yang terbingkai dalam keilmuan antropologi. Arsitektur mempunyai keragaman yang sangat luas dan semuanya itu diciptakan oleh manusia. Dalam produk arsitektur terlihat adanya campur tangan keinginan manusia, sistem nilai yang dianutnya, serta budaya yang tercipta. Arsitektur pula menjadi manifestasi dari simbol yang ingin diperlihatkan oleh sekelompok manusia kepada kelompok manusia yang lain sebagai lambang kekuasaan, kepemimpinan politis, serta supremasi suku/etnis tertentu. Tidak hanya itu, arsitektur-pun tidak lepas dari obsesi manusia dalam mengembangkan teknologi, seperti material bangunan, sistem struktur, konstruksi, serta perlengkapan bangunan lain, sebagaimana penemuan-penemuan dalam iptek.

Apa yang terjadi di beberapa kasus rancangan menunjukkan bahwa studi antropologi arsitektur ini mutlak untuk dikuasai oleh para arsitek. Misalnya pada kasus Pruit Igoe, proyek rumah susun di St. Louis, Missouri, USA, dihancurkan pada tahun 1972. Kompleks tersebut ditinggalkan oleh penghuninya yang kebanyakan orang negro. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa tingkah laku para calon penghuninya kurang mendapat perhatian dari arsiteknya dalam proses perancangan. Ironisnya, kompleks berlantai 12 yang dihancurkan tersebut 16 tahun sebelumnya mendapat penghargaan rancangan dari American Institutes of Architects.

Kejadian serupa mungkin sekali dapat terjadi di Indonesia. Para korban bencana dan penggusuran di perkotaan tidak menunjukkan minat terhadap rumah-rumah susun yang dibangun untuk mereka. Modifikasi yang dilakukan oleh para penghuni Perumnas, menunjukkan bahwa mereka memiliki orientasi yang berbeda dari para pengembangnya. Masalah-masalah fisik atau teknis yang muncul dalam lingkungan, yang kemudian mendapatkan bantuan proyek pemugaran perumahan pedesaan atau proyek perbaikan kampung, banyak yang berlatar belakang kondisi sosial ekonomi.

Kedudukan studi ini telah dikukuhkan dalam salah satu pasal dari Charter Machu Picchu tahun 1977 menyebutkan bahwa proses perancangan harus didasarkan pada interaksi dan kerjasama sistematis dan terus menerus antara profesi, penghuni atau pemakai, masyarakat, dan kepemimpinan politik.

MENGHUBUNGKAN ANTARA KONSEP KEBUDAYAAN DALAM ANTROPOLOGI BUDAYA DIKAITKAN DENGAN FENOMENA SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA SAAT INI

I. Kasus Atau Masalah Yang Akan Dibahas

Kasus atau masalah yang akan di bahas pada makalah ini yaitu :

1. Penyakit masyarakat

2. Upaya membendung kejahatan narkotika dan psikotropika

Antara kasus 1 dan 2 terdapat suatu hubungan bahwa jika kejahatan narkotika dan psikotropika di biarkan begitu saja maka masalah ini akan menyebabkan penyakit masyarakat yang sudah ada di masyarakat akan semakin sulit untuk diberantas. . Jika kita lihat dari kacamata budaya, hubungan yang terlihat adalah bagaimana peristiwa itu terjadi? Apa yang menjadi penyebabnya? Apa ciri-cirinya? Dan bagaimana penanggulangannya? Melalui makalah ini penulis akan mencoba untuk menguraikan tentang permasalahan di atas.

II. Pembahasan

1. Penyakit masyarakat

Kita tentunya sering mendengar istilah penyakit masyarakat, baik dari media cetak maupun elektornik. Jika kita telaah lebih jauh lagi, istilah penyakit masyarakat dapat diartikan sebagai suatu dampak dari adanya suatau peruahan sosial yang terjadi secara cepat, sehingga mampu memudarkan norma-norma yang telah lama hidup didalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Tidak ada lagi batasan-batasan tentang cara pergaulan yang baik. Meskipun orang tua kita sudah sering “menceramahi”, tetapi tidak digubris. Kita sering beranggapan bahwa apabila yang diucapkan oleh orang tua kita yang ertujuan baik bertentangan dengan kenyataan sosial di luar lingkungan keluarga ynag telah berubah. Kita tentu akan mengikuti pergaulan di luar dengan alasan bahwa yang diucapka orang tua kita sudah lama dan ketinggalan jaman.

Penyakit masyarakat merupakan masalah sosial. Penyakit masyarakat adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas, kekeluargaan, hidup rukun bertetengga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Sedangkan masalah sosial adalah semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat masyarakat (dan adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama); dan situasi sosial yang sianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak.

Menilai perkembangan antropologi di Indonesia masih sangat terbatas. Sebab, angaran untuk bisa mengakses literatur dan jurnal mutakhir ilmu antropologi juga tak tersedia secara memadai.

“Begitu seorang sarjana antropologi Indonesia menyelesaikan studi doktornya diluar negeri, begitu pula ilmu antropologinya selesai,” kata Amri dalam acara simposium internasional jurnal antropologi Indonesia ke empat dikampus Universitas Indonesia, Selasa (12/7).

Sementara itu, buku baru dan langganan jurnal luar negeri pun tak memungkinkan karena harganya yang kelewat mahal. Apalagi penghargaan perguruan tinggi terhadap fungsi perpustakaan dan pengembangan ilmu masih kurang juga masih memprihatinkan.

Amri berharap, pemerintah mendorong para antropolog untuk merancang bentuk pendidikan antropologi yang berorientasi pada pemecahan masalah-masalah nasional seperti pengangguran, kemiskinan, kelaparan, korupsi, konflik etnik dan agama, pelanggaran HAM, dan lain-lain. “Antropolog harus sensitif dengan masalah-masalah seperti itu,” katanya.

Acara simposium yang diorganisir Departemen Antropologi Fisip UI berlangsung sejak 12-15 Juli. Acara ini diikuti 211 panelis dari 18 negara seperti Indonesia, Cina, Jepang, Singapura, Amerika Serikat, Rusia, dan Suriname.

Ketua panitia, Raymond Michael, menyatakan simposium bertujuan mendukung UI mencapai universitas berbasis riset kelas dunia, membina relasi, memperluas kerja sama, dan ajang pertukaran pengetahuan tentang globalisasi.

Diskusi terdiri atas 21 panel yang membahas topik seperti identitas kolektif dalam demokrasi Indonesia, budaya asia, tradisi, komunitas, gender, globalisasi, ppolitik lokal, pluralisme, dan gaya hidup.

Seluk Beluk Jagad Antropologi

ALKISAH, ada seorang mahasiswa sejarah menulis skripsi tentang kemiskinan suatu masyarakat desa. Si mahasiswa itu berhasil membuat deskripsi mendalam tentang kemiskinan masyarakat yang ditelitinya itu.

DI dalam skripsi itu, kemiskinan ditampilkan dalam bentuk pelukisan yang benar-benar hidup dan sarat nuansa. Membaca skripsi itu seakan-akan seperti ikut mengalami kemiskinan itu sendiri. Namun, bagaimana nasib skripsi tersebut di mata sang dosen pembimbing?

Skripsi itu ditolak mentah-mentah. Sebab, kata sang dosen pembimbing, itu bukan skripsi sejarah, tetapi skripsi antropologi, bahkan nyaris seperti novel alias karya sastra yang notabene "fiktif", kata sang dosen pembimbing. Karena itu, katanya, skripsi itu harus dirombak dan harus lebih menekankan proses historis munculnya kemiskinan.

Kisah lain. Seorang mahasiswa antropologi menulis skripsi tentang gerakan Ratu Adil. Berkat ketekunannya menggali arsip-arsip sejarah ia berhasil membeberkan proses perkembangan gerakan tersebut secara mendetail dan kaya nuansa. Tetapi, apa tanggapan dosen pembimbingnya?

Skripsi itu adalah skripsi sejarah, bukan skripsi antropologi, katanya. Karena itu harus dirombak, dan harus lebih ditekankan pada interpretasi atas makna simbol-simbol yang dipakai di dalam gerakan itu.

Kedua mahasiswa tersebut tentu frustrasi. Ia merasa yang ia kerjakan tak dihargai sama sekali, hanya karena kurang menyinggung aspek historis gejala kemiskinan yang ia kaji, dan si mahasiswa lainnya kurang menekankan tafsir makna atas simbol-simbol gerakan.

Dua kisah seperti itu hingga saat ini-dekade 1990-an-masih mudah kita jumpai di kampus-kampus perguruan tinggi ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. (Prakata Lintas Batas Ilmu Sosial, LKiS, 1997). Memang, sampai saat ini perdebatan tentang batasan ilmu sosial terus mengemuka. Terutama menyangkut tentang fakta dan fiksi yang dijadikan sebagai sebuah referensi karya ilmiah.

Hairus Salim, dalam kata pengantar buku ini menolak anggapan, bahwa "ilmu-ilmu sosial" yang pengerjaannya dilakukan berdasar standar dan prosedur yang dianggap ilmiah, disebut telah menyajikan fakta. Sementara di sisi lain, karya-karya sastra, seperti novel, puisi, dan esai disebut fiksi. Pada gilirannya, data di dalam karya-karya ilmu sosial lebih bisa diterima dan dijadikan rujukan ilmiah sementara karya sastra tidak.

KLAIM fakta yang selama ini menjadi sandaran ilmiah karya ilmu-ilmu sosial telah melumer dan mencair. Watak imajinatif memang tak terelakkan dari karya-karya ilmu sosial: bagaimana tema dipilih, format dibangun, dan tulisan dibangun, dan tulisan disusun semuanya melibatkan penafsiran, semuanya fiksi, seluruhnya konstruksi.

Asumsi bahwa antropologi adalah kegiatan menghimpun fakta yang aneh dan luar biasa, lalu memilahkannya dengan rapi ke dalam kategori-kategori yang sudah biasa telah tak berlaku lagi. Lalu semakin buyar antropologi itu apa?

Mungkin semacam kerja penulisan, kepengarangan, atau menyatakan hal-ihwal di atas kertas. Ide demikian terkadang terlintas dalam benak para antropolog dan peminat antropologi. Meski begitu, meneropong antropologi sebagai kerja tulis-menulis selalu dijegal beberapa pertimbangan dan keberatan yang semuanya kurang beralasan.

Salah satu keberatan itu, yang terutama berpengaruh pada antropolog, hanya didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan tulis-menulis bukanlah kerja yang antropologis. Melainkan pergi ke berbagai tempat, pulang membawa oleh-oleh berupa informasi tentang cara hidup orang di sana, lalu menyediakan informasi itu dalam bentuk praktis bagi komunitas profesional.

Bukan hanya duduk di perpustakaan menganalisa pertanyaan literer. Keberatan lain, yang biasanya diajukan oleh peminat antropologi adalah bahwa teks antropologi tak layak diperhatikan secara rinci dan mendalam. Sastrawan seperti Conrad, Flaubert atau bahkan Balzac memang melakukan efek melalui cara tertentu yang patut dikaji.

Clifford Geertz dalam buku ini mengurai secara kritis atas kedudukan ilmiah dan kedudukan literer ilmu antropologi. Ia menelaah karya dari empat empu antropologi yang karya-karyanya menjadi klasik: Levi-Strauss, Evans-Prichard, Malinowski, dan Ruth Benedict. Gugatan Geertz ini menggema bukan hanya di gelanggang antropologi, tetapi ke seluruh bidang ilmu sosial.

Buku ini terbagi menjadi enam bab. Keempat bab pertama pernah disampaikan dalam bentuk yang agak berbeda, sebagai ceramah Harry Camp dalam memorial lectures di Stanford University, Musim Semi tahun 1983.

Untuk sebuah kejelasan kajian ini, Geertz memberi catatan pendahuluan. Pertama, istilah "antropologi" di sini terutama digunakan sebagai ekuivalen "etnografi" atau tulisan yang didasarkan atas "etnografi". Penggunaan ini meskipun sudah lazim dan baku, tetapi tidak eksak.

Geertz menyadari eksistensi arkeologi linguistik perbandingan, antropologi ragawi, dan berbagai bentuk kajian lain yang tidak atau tidak serta merta didasarkan atas etnografi. Dan itu semua mempunyai klaim yang sama valid untuk dimasukkan ke dalam rubrik "antropologi" sebagaimana "etnografi" serta memunculkan isu-isu wacana khusus yang tersendiri.

Geertz menggunakan istilah ini untuk mengacu pada antropologi sosial yang berorientasi etnografis, semata-mata untuk kemudahan pemaparan. Penggunaan demikian tidak untuk menyiratkan bahwa jenis karya yang dibicarakan sudah tuntas meliput apa yang diacu oleh istilah tersebut, atau bahwa karya semacam ini lebih layak dibahas di bandingkan dengan jenis-jenis lain.

Kedua, meskipun hal-hal yang bersifat biografis maupun historis tak bisa dielakkan masuk dalam bahasan ini pada banyak tempat, kajian ini sendiri tidak beritikad menjadi biografis atau historis, tetapi berkepentingan dengan "bagaimana antropolog menulis"-intinya, kajian ini berorientasi tekstual.

Karena itu, buku ini sangat penting bagi pembaca yang ingin mengetahui hayat dan karya para Antropolog dalam melakukan kerja kreatif kepenulisan dan kepengarangannya yang unik, kadang juga mendebarkan.

Pendekatan Antropologi bagi Konflik Agraria

Mengiringi ulang tahun emas Antropologi Universitas Indonesia, telah digelar lokakarya bertajuk “Konflik dan Dishar-moni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan Pemikiran Antropologi untuk Pembangunan Demokrasi”, 11-12 Desember 2007, di Kampus UI, Depok.

Pada hajatan yang didukung koran Sinar Harapan ini, hadir puluhan antropolog dari Papua hingga Aceh. Kata dosen saya dulu, antropologi itu sejenis ”ilmu dewa” karena mempelajari segala aspek terkait manusia dan kebudayaannya. Maka, ketika para antropolog dari berbagi penjuru berkumpul dan berdiskusi, forum ini saya ibaratkan pertemuan ”para dewa”.

Dalam forum ini, penulis turut menyumbang pemikiran terkait fenomena konflik agraria berikut usulan solusinya. Menurut panita, konflik yang terkait dengan permasalahan akses, alokasi, dan distribusi sumber-sumber daya baik itu terkait dengan sumber daya alam, modal usaha, dan sumber-sumber kehidupan lainnya patut mendapat perhatian serius.

Kenapa konflik agraria tak pernah tertangani dengan baik? Penulis menawarkan kombinasi pendekatan politik, hukum, dan kebudayaan secara holistik dalam usaha menyelesaikan konflik agraria di Indonesia kontemporer.

Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang saat ini ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkaran pertanahan 2.052 kasus.

Dari 7.491 kasus tersebut, prosentase berdasarkan tipologi masalahnya adalah; (a) Penguasaan dan pemilikan 59,61%; (b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%; (c) Batas dan letak bidang tanah 6,81%; (d) Ganti rugi eks-tanah partikelir 3,48%; (e) Tanah ulayat 1,78%; (f) Tanah objek landreform 2,27%; (g) Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%; (h) Pelaksanaan putusan pengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di Denpasar Bali, 14 November 2007).

Konflik Struktural

Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan sengketa lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertama maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidang pertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007).

Jauh sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria telah merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural sepanjang Orde Baru, yaitu konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara.

Konflik agraria struktural adalah sengketa atau konflik yang disebabkan oleh penggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerintahan. Bukan antarwarga yang sifatnya individual.

Umumnya konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, pemerintah memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha.

Akar konflik agraria ialah politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Politik agraria jadi landasan perumusan dan pelaksanaan berbagai regulasi, peraturan perundang-undangan dan program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Sepanjang dianut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian dan represif, maka sengketa/konflik agraria struktural akan terus terjadi.

Selama hak-hak rakyat kecil terus dianaktirikan, dan kemudahan diberikan kepada pemilik modal besar, konflik dan ketimpangan yang tak adil sulit diakhiri. Maka, sebelum bicara mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, kita mesti terlebih dahulu mengubah politik agraria, dari yang pro-golongan ekonomi kuat jadi pro-golongan ekonomi lemah—seperti kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota.

Konflik agraria tak pernah tertangani dengan baik, selain karena politik agraria, ketiadaan mekanisme serta kelembagaan yang menanganinya, juga karena pemerintah tidak punya cukup komitmen dan kemampuan. Yang menggenapi kebuntuan penyelesaian konflik agraria ialah diabaikannya pendekatan budaya dalam memandang, menangani, mencegah, dan mengantisipasinya.

Politik, Hukum, dan Budaya

Mengingat kompleksitas persoalan yang mengitari konflik agraria, penulis menawarkan kombinasi trilogi pendekatan, yakni: politik, hukum dan budaya. Pertama, perubahan paradigma dan orientasi politik agraria nasional, dari politik yang pro “Si Kuat” menjadi pro “Si Lemah”.

Diasumsikan perubahan itu akan membuka pintu bagi dilakukannya pengkajian ulang (review) seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam. Dengan itu, dimungkinkan dibentuknya konsensus baru yang mewujud dalam aturan hukum baru yang lebih melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam. Inilah perubahan politik agraria dari yang kapitalistik, otoritarian dan represif menjadi populistik, demokratis dan menghargai hak-hak rakyat.

Kedua, pendekatan hukum secara progresif dengan mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial–kerap disuarakan Prof. Satjipto Rahardjo, bagi para korban konflik agraria. Pendekatan hukum yang mengandalkan legalisme/formalisme dalam menangani konflik agraria terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan.

Untuk itu, tepat kiranya diadopsi gagasan yang dikembangkan dalam wacana hak asasi manusia yang dikenal sebagai konsep transitional justice—suatu pendekatan keadilan transisional, yang mengutamakan hak-hak korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, kompensasi dan restitusi hak asasi mereka.

Ketiga, pendekatan budaya yang menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesai sengketa tanah/konflik agraria.

Karenanya diperlukan pemahaman utuh dan menyeluruh atas eksistensi kultural suatu komunitas masyarakat sebagai pihak yang berkonflik dengan pihak lainnya (bisnis/negara). Pemahaman sosio-budaya akan memastikan posisi masyarakat, termasuk masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya sebagai subjek utama perancang sekaligus pelaku penyelesaian konflik agraria secara sosio-kultural.

Dengan kombinasi ketiga pendekatan ini, kita memiliki peluang mendekati, menangani dan mencegah konflik sosial akibat konflik agraria secara utuh dan menyeluruh (holistik). Kunci pembukanya, pertama kali dibutuhkan kemauan politik yang super kuat dari para penyelenggara negara untuk menghargai antropologi sebagai induk ilmu dan pendekatan yang meletakkan keragaman budaya bangsa sebagai potensi berharga bagi upaya penyelesaian aneka konflik di tengah masyarakat, bangsa dan negara.

Akhirnya, forum yang digelar para antropolog di akhir 2007 ini relevan dengan upaya mengingatkan Presiden RI akan janjinya untuk memulai reforma agraria tahun 2007, sebagaimana beliau pidatokan pada 31 Januari 2007.

PENDEKATAN ANTROPOLOGI

DALAM KAJIAN ISLAM

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.

Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.

Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.

Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai "international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan sosial

Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.

Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.

Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.

Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.

Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.

Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.

Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.

Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.

Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.

Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.

Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.

Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.

Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.

Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.

Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture

Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.

Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.

Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut.

Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.

Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.

Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.

Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai "menjadi Melayu." Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.

Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.

Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia Muslim lainnya.

Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan budaya.

Islam popular dan Islam formal

Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai "office" (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, "offical," gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.

Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.

Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya.

Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu.

Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari'ah. Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.

Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar.

Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.

Agama Sebagai Sistem Budaya

Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:

"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."

Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.

Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.

Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam

Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.

Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.

Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.

Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.

0 komentar:

Copyright © 2008 - www.muhamadsaiful.co.cc - is proudly powered by Blogger
Blogger Template